Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bagaimana Rasanya Jadi Satu-satunya Guru di Kampung Terpencil Papua?

Bagaimana Rasanya Jadi Satu-satunya Guru di Kampung Terpencil Papua - Jangan bayangkan pemandangan indah di Papua serta kekayaan alamnya akan membuat masyarakatnya menikmati keadilan berupa akses pendidikan yang layak. Sebab, tahun 2022 saja ada satu daerah di Kabupaten Mappi yang sukses mengirim 24 anak untuk bisa bersekolah ke jenjang SMP.

 

Bagaimana Rasanya Jadi Satu-satunya Guru di Kampung Terpencil Papua
Foto by instagram.com/satu_indonesia/


 

Apakah memang hanya ada sedikit anak yang tinggal di sana? Demikian pemikiran yang terlintas saat mendengarkan kisah dari seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil.

 

Terlalu berpikiran positif atau terlalu naif. Itulah saya ketika berpikir bahwa hanya ada sedikit anak di sana. Walaupun rupanya ada sekitar 85 anak yang mendaftar sekolah dari sebelumnya ada 65 anak yang bergabung.

 

Lantas, kenapa hanya sedikit anak yang bisa lolos hingga jenjang SMP?

 

Potret Pendidikan Anak Papua Yang Jarang Terekspos

 

Sudah banyak yang menyadari kalau kehidupan di tanah Papua itu berat. Kebanyakan masyarakat kota hanya terfokus pada konflik yang terjadi.

 

Sebab, media memang fokus menyiarkan berita tersebut. Jarang sekali mengangkat wajah pendidikan di setiap kampung di berbagai distrik pada tiap kabupaten yang ada.

 

Percaya atau tidak, ada satu kampung yang bahkan sudah mengalami vakum belajar akibat tidak adanya guru yang mau mengajar di sana.

 

 

Guru Penggerak Daerah Terpencil Datang Untuk Anak Mappi

 

 

Kehadiran Diana Cristiana Dacosta Atti ke wilayah Kabupaten Mappi pada tahun 2018 ini membuatnya terkejut. Ia tidak menyangka kalau di kampung Ati, salah satu kampung di kabupaten Mappi tempatnya akan mengajar, mengalami kekosongan proses belajar akibat tidak adanya guru.

 

Ini bukan cerita fiksi sebab hal ini terjadi dan menjadi keresahan Diana sebagai tenaga pendidik. Kedatangannya ke kampung Atti membuatnya pernah mengirimkan surat terbuka kepada menteri pendidikan yang memerintah saat itu.

 

Ia sampaikan keresahannya mengenai pendidikan yang sangat tidak merata ini.

 

Diana Cristiana Dacosta terpilih dalam program Guru Penggerak yang dibuat oleh Bupati Mappi bekerjasama dengan Gugus Tugas Papua UGM. Dan langsung berangkat untuk bertugas pada bulan November 2018.

 

Perjalanan dari pusat kota menuju kampung Ati inipun memakan waktu hingga 9 jam lebih. Ada banyak penghalang yang membuat perjalanannya menguras tenaga. Mulai dari jalanan tertutup pepohonan hingga melewati rumpun tebu dan rawa.

 

Bisa terbayangkan betapa melelahkannya untuk mencapai satu tempat saja. Namun, kelelahannya ini justru menjadikannya kuat sebab ada banyak wajah anak-anak yang bahkan tak mengenal jati diri bangsanya.

 

 

Belajar Membaca dan Menulis Serta Mengenal Indonesia

 

 

Mendapatkan pendidikan yang layak memang hak bagi masyarakat Indonesia. Tapi, kebanyakan yang mengenyam pendidikan adalah mereka yang berada di kota.

 

Bagi anak-anak Mappi, kebanyakan akses pendidikan belum bisa dinikmati dengan mudah. Pada buku Anak Asli Asal Mappi yang diterbitkan oleh Penerbit Lentera pun menggambarkan dengan detil tentang anak-anak Mappi yang berangkat ke sekolah tanpa mengenakan seragam apalagi sepatu.

 

Demikian wajah pendidikan yang sebenarnya dari anak yang merupakan calon pewaris daratan Papua, anak yang diharapkan akan menjaga hutan dan kekayaan alam Papua juga menjadi pemimpin di masa depan.

 

Keterbatasan tidak membuat Diana menyerah begitu saja. Meski menghadapi banyak tantangan dalam proses belajar mengajar. Ia tetap gigih memenuhi tanggung jawabnya sebagai Guru.

 

Setiap hari ia ajarkan dengan sabar pelajaran membaca dan menulis. Jangan ditanya apakah gedung sekolahnya bertingkat. Hanya ada tiga ruang kelas untuk anak-anak yang datang belajar.

 

Belum lagi ia harus berhadapan dengan orang tua yang tidak banyak menyadari pentingnya pendidikan bagi anak mereka. Bagi mereka keberhasilan anak-anak dinilai dari kemampuan mereka berburu hewan, memanen sagu, juga memelihara babi.

 

Apalagi pemikiran kebanyakan masyarakat bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari saja mereka tidak perlu sekolah. Karena tinggal memetik dari hasil alam yang ada di hutan. Dan mimpi mereka hanya cukup sampai situ.

 

Inilah tantangan terbesar yang membuat Diana akhirnya menjelaskan pada mereka bahwa, “kelak anak-anak asal Kampung Ati bisa menjadi pejabat ataupun presiden dan pendidikan bisa menjadi bekal hidupnya di masa depan.”

 

Perjuangan dan Lelahnya Terbayarkan Dengan Hasil

 

 

Meski menghadapi banyak tantangan. Sampai proses belajar yang tidak seperti anak di kota pada umumnya dengan duduk manis, berseragam sambil memandang papan tulis ataupun layar komputer.

 

Belajar sambil main di rawa ataupun menikmati mangga di perkebunan juga tetap menyenangkan bagi mereka. Terutama bagi Diana yang menurutnya belajar bisa dilakukan dimana saja selama anak-anak Kampung Ati nyaman dan bersemangat.

 

Baginya, kunci dari kesuksesan yang saat ini sudah ia capai dengan mengirimkan 24 anak untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi hanya ada dua. Kesabaran dan keikhlasan dalam pengabdian demi memperjuangkan hak anak-anak daerah terpencil.

 

“Ada banyak yang harus dipertaruhkan dan diperjuangkan dalam hidup, semua itu adalah berkat yang sangat luar biasa,” ungkap Diana pada acara penyerahan penghargaan di Jakarta.

Posting Komentar untuk "Bagaimana Rasanya Jadi Satu-satunya Guru di Kampung Terpencil Papua?"